Berbadan tinggi tegap, berambut tebal yang diselimuti uban. Seorang laki-laki yang masih bekerja keras untuk menyukupi kebutuhan keluarga. Meskipun berwatak keras tetapi beliau adalah orang yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Cara mendidik anak-anaknya sering menimbulkan pro dan kontra. Mungkin maksudnya baik, tetapi entahlah selama ini aku kurang untuk menerima. Yah, biar bagaimanapun dia tetap ayah kandungku.
Selama ini aku menganggap seorang ayah adalah monster yang suka marah dan ngamuk-ngamuk saja. Selalu menunutut dan membatasi dalam pergaulan dengan orang lain.Terlintas dalam fikiranku secara tidak sadar telah mengarahkan untuk membenci seorang ayah.
Sedikit cerita, Malam hari Sebelum aku berangkat ke Yogyakarta, ketika di panggil ayah di teras depan rumah. “Piye ko ws siap-siap rung koe mau?”, (gmna ko udah siap2 belum?)kata ayah sambil senyum-senyum menatapku yang sudah berani rokok di depannya.”koko” adalah panggilanku waktu kecil, bahkan sampai sekarang keluaragaku masih memanggil dengan sebutan seperti itu. ” Yws tho pak, wis di siapke ibuk kabeh koq pakaianku”,(sudah , sudah di siapkn ibu kq pakaianku)sahutku. Perbincangan yang memang biasa di utarakan orang tua ketika anaknya mau pergi jauh. Sedikit banyak perkataan ayahku yang “ngalor ngidul” itu pun kuabaikan. Malam itu aku ada janji dengan teman-teman SMA untuk acara perpisahan, karena aku akan berangkat besok pagi.
Bincang –bincang di bawah pohon cemara di depan rumah itu mulai membuatku resah dan gelisah. Rasa kaget ketika aku di tegur ayah, entah dari raut mukaku yang terlihat atau sikapku yang acuh tak acuh. “Mbok dungoke ra ko ntokku ngomong?”, kata ayah Dengan agak mengkerutkan keningnya. “Yo pak”, jawabku dengan nada terpaksa.
Saatnya telah tiba, saat aku akan berangkat ke kota. Ibu yang mencium pipiku sambil menangis, ternyata berbeda dengan ayahku sambil senyum tipis dengan berkata: “ati-ati yo ko”. Senyumnya tidak mengungkapakn suatu kesedihan selayaknya orang tua yang akan di tinggal anaknya. Tapi sudahlah, mungkin sudah wataknya.
Hidup di kota dan jauh dari orang tua sunguh berat. Selama ini hidup manja ketika SD sampai SMA ternyata harus melakoni kehidupan yang sulit. Teringat semua perkataan ayahku jaman dulu ternyata semua terbukti. Perkataan beliau adalah wujud dari kasih sayang orang tua kepada anaknya. Sampai sekarang aku baru tau bahwa maksud dari perlakuan selama ini dengan tujuan baik.
Sering kali untuk minta uang semester dan kebutuhan sehari-hari lebih enak minta sama ibu, meskipunngomel dikit tetapi gaya bicaranya enak dan berbanding terbalik dengan ayahku. Saat semester tiga tentang prasyarat mengikuti ujian adalah membayar uang smester dan lupa untuk memberitahu tentang tagihan kepada orang tua. Ujian kurang sehari lagi, pikiran kalut karena takut tidak bisa ikut ujian. Kuberanikan diri untuk minta uang semesteran kepada ibu tapi beliau tidak bisa menyangggupi sebelum berbicara dulu dengan ayah.
Sedikit cerita dari ibuku tentang kejadian ibuku lewat sms:” Orang yang pertama kali merasa susah adalah ayahmu ko”. Sedikit tercengang melihat sms dari ibu.” ketika ibu ngomong tentang uang pembayaran semester, Beliau mencari jalan agar anaknya bisa mengikuti UAS seperti teman-temannya”, lanjut smsnya. Sungguh merasa bersalah sikapku selama ini, yang menganggap ayah adalah sesosok yang “keras”. Ternyata beliau tidak mau menyampaikan kemarahannya agar aku tenang mengikuti ujian menurut penjelasan ibuku.
Terlintas dalam pikiaranku, Suatu nanti ketika aku sudah wisuda untuk jadi seorang sarjana, mungkin orang yang pertama kali berdiri dan bertepuk tangan adalah ayah. Senyum dengan air mata bahagia adalah wujud syukur ketika melihat anaknya menjadi dewasa dan berhasil jadi “seseorang”.
Sungguh hebatnya perjuangan seorang ayah. Muungkin selama ini sosok ayah kurang terlihat di banding ibu yang selalu dekat dan berlaku baik pada semua anaknya. Semua perbuatan ayah terhadap anaknya adalah wujud dari pembelajaran. Kita di didik keras agar kita terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Selalu senyum ketika menghadapi kesedihan yang mengisyaratkan bahwa kesedihan itu memang harus di hadapi dengan senyuman agar kita mampu mengelola emosi yang membuktikan kita dewasa.
Perasaan ini tertuang ketika aku membaca sebuah tulisan dari temenku waktu sma kelas dua. Entah mengapa aku hanyut dalam alur tulisan itu. Hanya perasaan sedih yang ada dalam hatiku. Sudahkah aku membuat ayah tersenyum, pertanyaan itulah yang selama ini ada dalam otakku.
Tulisan ini bertujuan menyadarkan saya dan anak-anak yang sesungguhnya mempunyai pikiran buruk tentang sesosok ayah. Bukan maksud mendeskreditkan seorang ibu, tapi hanya ada keseimbangan informasi bahwa seorang ayah juga berperan dalam kehidupan kita.