Rabu, 30 November 2011

Nasib Korban yang Dikebiri


Sehabis sholat magrib sekitar pukul 18.30wib. kami berhenti di warung pinggir jalan.dengan maksud ingin menikmati teh sebagai penghangat dikala hawa dingin menyelimuti tubuh ini.bangunan yang tersusun rapi dari bambu ini telang melindungi dari tetesan embun yang jatuh dari langit. Atap dari seng berjajar gagah sepanjang bangunan itu.

Awan wedus gembel di tahun 2010 telah meluluh lantakan bangunan yang menghalangi lajunya. Awan panas yang bersal dari erupsi gunung merapi ini menjadi monster paling mengerikan bagi warga kinah rejo sleman yogyakarta. Tidak ada satupun bangunan yang lolos dari panas awan yang berisi butiran pasir itu.

Kerusakan yang diakibatkan erupsi gunung merapi itu telah mengahancurkan semua ekosistem. Tumbuhan, hewan dan tak luput pula manusia yang menjadi korban. Rumah warga yang berada dikawasan rawan bencana itu rata dengan tanah. Rumah mbah marijan juga tak luput dari sasaran awan wedus gembel.

Pandangan yang liarku menuju sebuah bangunan rumah permanen di belakang warung tempat aku berhenti. kami bergegas mendekat dan melihat bangunan yang terlihjat baru berdiri. Nampak seorang lelaki memakai peci keluar dari rumah itu. Nurohman, lelaki berkulit sawo matang termasuk korban merapi.

Terasa aneh ketika melihat sebuah bangunanan berdiri megah di kawasan rawan bencana. Tak lain adalah rumahnya pak nurrohman.  Pemerintah menerapkan pelarangan tentang pendirian rumah permanen di Kawasan Rawan Bencana. Seorang laki-laki perwakan kurus ini juga cucu dari mbah marijan. Kehidupan sehari-hari dihabiskan untuk bercocok tanam ini menjadi saksi hidup atas bencan alam yang terjadi setahun lalu. Beliau bertempat tinggal di dusun kinahrejo desa umbulharjo kecamatan cangkringan kabupaten sleman yang termasuk kawasan rawan bencana, karena memang rumahnya berjarak sekitar  5 KM dari puncak merapi.

Rumah permanen di bangun secara bertahap. pak nurohman, seorang petani yang meyisihkan sebagian uang untuk membeli semen dan membuat batako sebagai dinding rumah ini. bangunanan diperuntukan persinggahan  sanak keluarganya. Rumah yang dibangun pasca erupsi ini menghabiskan biaya sekitar 27 juta.

Kekecewaan berat dialami warga kinahrejo, ketika pemerintah yang mencanangkan progam relokasi tanah. Rumah yang akan didapatkan warga kinahrejo ternyata tidak lepas dari biaya. Pak nurrohman menuturkan: “mereka perlu menyiapkan dana minimal 9-16 juta”. Setiap kepala keluarga harus mempunyai uang Sembilan juta untuk mendapatkan rumah. “semakin strategis rumahnya semakin mahal”. Imbuhnya.

Dengan biaya yang cukup besar keresahan dialami warga kinah rejo khususnya. Mereka yang menjadi korban bencana, kehilangan harta benda masih harus memikirkan biaya yang sebesar itu. Lapangan pekerjaan yang tidak ada merupakan faktor penyebab keresahan . Ladang mereka mati, tertimbun butiran pasir dari merapi.

Progam  pemerintah untuk para korban bencana merapi tentang penggantian hewan ternak yang mati dirasa memberatkan warga. Uang ganti ternak dari pemerintah harus di belikan ternak lagi dan dilaporkan kepada pihak yang berwaji atau kepal desa. Sedang dikawasan merapi masih tertutup dengan pasir . Persoalan ini membuat warga kinah rejo kesulitan mencari pakan ternak. “rumputnya kan belum tumbuh, masih tertutup pasir”. Kata pak nurrohman yang ekspresinya terlihat sedih.
Jaminan hidup yang di janjikan pemeritah dalam tahun ini hanya terealisasi dua bulan pertama. Untuk keselanjutannya masih belum diterima warga desa kinahrejo. Memang malang nasib para korban erupsi merapi. Warga yang selalu membayar pajak ke perintah yang seharusnya memperhatikan nasib mereka tapi semua hanya tinggal anagn belaka.

Pak nurrohman sebelum adzan isyak dikumandangkan, beliau menceritakan semua keadaan ketika bencana dashyat itu terjadi. Sirine yang seharusnya peringatan bahwa akan terjadi erupsi ternyata kurang berfungsi dengan baik. Himbauan dari pemerintah untuk mengungsi terasa kurang di pedulikan oleh warga. Mereka lebih mempercayai sirine yang terpasang sebagai peringatan dini terhadap bencana. Bukannya masyarakat kinah rejo tidak mau mengungsi, tapi memang sistem kerja sirine yang terpasang memang lambat. Pada tahun 2006, sebelum terjadi erupsi alat pendeteksi bencana yang di pasang oleh mahasiswa UGM ini telah memperingatkan terlebih dahulu. Sehingga setelah ada tanda dari sirine gegana ini warga mulai mengungsi. Mereka berpatokan bahwa setelah sirine gegana ini berbunyi maka warga siap-siap unutk mengungsi. Tapi pada kenyataannya  Sirine yang di Tuhankan warga kinahrejo tidak berfungsi dengan baik. Peringatan tanda bencana ini telat. Bunyi sirine bersamaan dengan datangnya awan panas itu. Alhasil banyak masyarakat kinahrejo menjadi korban.

Suara air hujan yang terus berjatuhan dari langit pun memaksa pak nurrohman bersuara agak kencang. Pekikan adzan yang sontak menghentikan pembicaran kami dengan nurrohman. Masjid yang berjarak sekitar 500meter dengan corong suara pas menghadap kearah kami, seakan-akan mengajak seluruh umat islam untuk sholat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar